Entah harus kumulai dari mana menceritakan rasa haru yang luar biasa ini. Radius, aku tidak berekspektasi apa pun terhadap buku itu. Namun setiap tulisan yang aku torehkan tidaklah sesederhana harapanku terahadap buku bersampul biru itu. Banyak hal yang aku kisahkan, memang hanya kumpulan puisi, tapi setiap puisi lahir dari kegelisahan dan relung hati.

Radius, sepertinya judulnya, harapanku pun berjarak terhadap semuanya. Aku tahu, tantangan terbesar menjadi penulis di Indonesia itu satu: Rendahnya minat baca. Lantas apa yang diharapkan dari kumpulan puisi? Tidak ada.

Ya, lillahitaala saja. Perkara orang mau baca atau tidak urusan belakangan. Mengutip dari kata-kata Andrea Hirata “Berkaryalah, karena karya itu yang akan menemukan nasibnya sendiri”. Atau kata Pram, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian”.

Aku menulis karena ego, aku tak ingin cepat hilang dari muka bumi ini. Setidaknya akan ada yang dibaca oleh orang-orang setelah kematianku. Maka, menulis berangkat sebagai sebuah pengabdian bukan pujian.

Benar, Radius mempertemukan dan mempererat silaturahim yang lama terputus. Beliau Bang Faisal penggagas dari kegiatan pelatihan menulis cerpen Senandung Rindu Natuna (SNR). Mungkin beliau tidak menyangka, 2011 itu Yudhianto Mazdean memberanikan menulis agar bisa lebih percaya diri, apalagi jurinya langsung penulis kondang Gol A Gong. Menggebu dada ini untuk segera mengirimkan file naskah cerpen, perkara lolos atau tidak urusan belakangan.

Aku ingat saat itu kondisi masih sangat memperihatinkan. Namun, tidak patah arang, untuk mengetik di warnet mau habis berapa? Hahaha yasudah, kuajak adik kelasku untuk membuat cerpen bareng satu laptop gentian, semalam suntuk kami begadang di rumahnya yang jauh, di kelanga. Demi mendapatlan pinjaman laptop. Cuma itu caraku.

Nasib naskah kawan tak seberuntung naskahku, aku lolos sementara dia tidak. Sedih ada juga, sama-sama berjuang ternyata hanya aku yang masuk 20 besar untuk dibukukan. Dari kisaran 40 cerpen yang masuk ke panitia.

Menulis adalah anganku stelah lulus sekolah, aku terbius mengapa tulisan bisa sebegitu kuat merasuk dalam tubuh orang-orang yang membacanya. Aku takjub, membaca menjadi begitu dahsyat dampaknya bagi diri sesesorang.


AKU TIDAK SUKA MEMBACA.

Benar, sama seperti temanku lainnya, aku tidak suka membaca. Bersyukur ketika itu terselamatkan oleh sebuah Novel Sang Pemimpi. Aku harus berterimakasih oleh penulisnya Andrea Hirata, maka sejak saat itu aku juga ingin menjadi Andrea Hirata. Hahaha

Serius ini serius. Akhirnya dari aku ingin menjadi Andrea Hirata kemudian bergeser sedikit, aku ingin menajadi penulis seperti Andrea Hirata. Sesimpel itu.

 Cita-cita menjadi penulis terwujud, setelah Senandung Rindu Natuna akhirnya terbit, aku ada di dalamnya di akui sebagai penulis. Bahagaianya luar biasa. Cikal bakal itulah yang diletupkan oleh Bang Faisal dan kawan-kawan dalam menyelenggarakan event menulis cerpen itu.

Setelah event berakhir, tak kutemui lagi mereka, entah di mana, beberapa mungkin masih ada yang aktif menulis atau hilang sama sekali.

Aku masih tertatih, sendirian. Belajar dari sosial media, terutama facebook. Banyak kujumpai penulis hebat di sana, aku belajar bagaimana meramu kata, buku-buku teknik menulis kubeli, sumber lain kubaca. Konsekuensi menjadi penulis terberat yang aku lawan adalah aku harus menjadi pembaca. Dan itu sangat menjengkelkan.

“Huff! Bisa gak, menulis ya nulis aja gak harus menjadi pembaca?”

Kenapa harus membaca. Aku malas membaca buku, ngantuk. Akhirnya kutemukan satu buku teknik menulis, Gol A Gong mengatakan, “Membaca itu seperti bensin” bahan bakarnya kendaraan. Kalau bensinnya cukup, maka kita bisa kemana saja. Yaps! Masuk akal sekali analogi ini. Dari situ aku berusaha mencintai buku. Ga ada ruginya, pinter juga buatku sendiri kok.

Menjadi anggota perpustakaan sejak 2011 itu, aktif setiap minggu pinjam buku. Setelah mendapat pekerjaan dan menghasilakn uang sendiri, aku sudah bisa memilih buku kesukaanku, maka setiap bulan kuanggarkan buat belanja buku. Biar ada tantangan.

Okey, kembali lagi.

Upaya menulis aku fokuskan pada menulis puisi dahulu, fokus di situ. Tidak masalah dikatain lebay. disenyumin aja, gak masalah dikatain “Yudhi ni galau terus tulisannya” ngakak aja sih. Berlanjut, perlahan tapi pasti. Dum! 2018 buku solo pertama Sehimpun Puisi Menelah Sepi lahir. Luar biasa antusiasme orang yang membeli dari Makassar, NTT, Kuningan, Lampung, Kalbar, Medan dan banyak lagi. Wih! Gak menyangka.

Tahun ini lahir kembali Radius, yang akhirnya mempertemukanku dengan Bang Faisal, setelah lama pindah tugas di provinsi, beliau penjembatan yang luar biasa. Excited banget dengan lahirnya Radius. Secara, hari ini beliau melihat “oh, ternyata ada nih, penulis muda yang dulu di 2011 beliau semai, sekarang sudah menerbitkan buku kedua.”

Panjang lebar kami ngobrol bernostalgia dengan Bang Faisal malam itu.

Beliau kemudian mempertemukanku dengan Bapak Erson Gempa Afriandi. Kadis Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Natuna. Gayung bersambut, beliau sangat paham mengapresiasi orang-orang yang berbuat untuk daerah. Pertemuan pertama mengalir saja ngobrolnya, larut aku dalam tutur beliau, harapan dan impian beliau dalam menggairahkan minat baca untuk Natuna. Tidak hanya itu, beliau mengonsep sedetil itu yang mungkin tidak terpikirkan.

Semakin terkagum-kagum, gagasan-gasan program yang tampak begitu nyata dan tidak ada yang tidak mungkin, selagi mau mengusahakannya. Aku yakin itu, dengan tangan dingin beliau semuanya pasti bisa diwujudkan. Kegiatan apa pun, siapa yang tidak kenal Pak Erson Gempa Afriandi. Maaf, agak berlebihan mungkin, tapi beitulah adanya.

Dalam percakapan itu, beliau izin kepadaku, “Izin yud, bagaimana kalau nanti buku Radius ini kita gandakan?” Wah, mimpi apa aku semalam. Dengan senang hati, ya bgitulah tujuanku menulis agar tulisan itu bisa dibaca orang banyak, lebih luas cakupannya hingga ke sekolah-sekolah di Kabupaten Natuna dan lebih dari itu.

Perjumpaan dengan beliau terjadi dua kali, lebih intens lagi membahas program DIKSI; yang kemudian dijadikan program inklusi perpustakaan daerah untuk diadakan setiap tahunnya. “Kamu siap, Yud? Saya tantang ini”

“Siap, InsyaAllah, Pak!”

Kemudian kami tertawa bersama.

Radius, ledakannya luar biasa. Radius berapa meter? Berkilo-kilo, jangkauan ide brillian yang kudengarkan masih terkagum-kagum. Ya! Tidak ada yang tidak mungkin. Aku ingin menjadi pelakunya, sekecil apa pun itu dalam kemajuan literasi Natuna.

 

Salam

Yudhianto Mazdean.